Arung Palakka,


About ArungPalakka, Son of the Best Land Bugis
ArungPalakka (born in lamatta, mario Wawo-ri, soppeng, 15 September 1634 bontoala died on 6 April 1696 at the age of 61 years) was the sultan of bone from the year 1972-1696. While still a prince, he led his kingdom in achieving the independence of the sultanate of Gowa in 1660's. He worked with the Dutch in seizing the city of Makassar.

Palakka carry spare bugis become major maritime power and dominate the region for nearly a century. Whitewater Palakka titled "La Tan-ri tatta To urong To-ri SompaE Petta MalampE'E Gemme'na Daeng Serang To 'Appatunru Paduka Sri Sultan Sa'admuddin, [MatinroE-ri Bontoawala], Whitewater Bone.

BIOGRAPHY

Born in lamatta, Mario ri Wawo, Soppeng, Date 15 September 1634, son of Lapottobunna, Whitewater Land Tengnga with his wife, We Tan-ri Suwi, Datu Mario Wawo-ri, the son of La-ri tan sri sultan Paduka Ruwa adam, arumpone bone. ArungPalakka died in bontoala, the kingdom of Gowa (now Gowa district) on 6 April 1969 in buried in bontobiraeng.

MARRIAGE

Married first-Whitewater Kaju (divorced)

-Married a second time with sira Daeng Talele Karaeng ballajawa on 16 March 1668 (bercarai on 26 January 1671), (born on 10 September 1634, died 11 February 1721), previously the wife of Karaeng bontomaronu, and Karaeng karunrung 'Abdul Hamid, a former louse-Butta talking Gowa, daughter of I-Daeng MALLEWAI Karaeng mataoya Manasa, Karaeng cendrana and sometimes as Tumalailng Gowa, by his wife, Daeng mangeppe, son of I-Daeng mallingkaang mannyon-ri Karaeng matoaya awwal sultan abdullah al-Islam, Karaeng Tallo.

-Married third time in soppeng, 20 July 1673 with tan We pau-ri ri Adda Sange datu watu [matinroe_ri madello] datu soppeng, formerly wife of la Sunni, adatuwang sidendreng, and daughter of La-ri tan bali beowe II, datu ri soppeng.

Married to a four-time on 14 September 1684, with Daeng Marannu, Karaeng laikang (died on 6 May 1720), formerly the wife of Karaeng bontomanopo muhammad, and the son of Daeng mangempa pekampi Karaeng bontomanonu, Gowa.

ARUMPONE BONE

Replace his mother as a datu Mario_ri Wawo to 15. Arungpalakka earned as a gift to free his people from colonialism makassarese. Recognized by the Dutch as arungpattiru, palette, and palakka in bone and dautu mario-ri Wawo in soppeng, Bantaeng, and bontoala, 1670.

PACKAGE BONE SOUTH SULAWESI $1200 3DAY 2 NIGHT



Pick the airport at 10: 00 am to the hotel to travel 4 hours to pass through mountainous areas lunch continue perjalannan toward SOUTH BONE dinner at hotel Bugis traditional music BONE break night second day breakfast way to the museum at 8.30 visit the museum for 1 hour 30 minutes toward the cave ARUNG PALAKKA for 1 hour visit next lunch towards traditional port bajoe dinner at 7:00 8:30 return to hotel break third day Hasannudin airport at 5: 00 am breakfast waterfall sights Bantimurung for 2 hours free events lunch at 3 in the airport Hasannudin GUEST MUST BE ARRIVING AT MOST AIRPORTS Hasannudin LATE AFTERNOON BEFORE 12:00 HOURS AND LEAVING THE MOST SOUTH LATE JAM 18: 00 AFTERNOON AIRLINES TICKET PACKAGE DOES NOT INCLUDE GUEST MUST PROVIDE INFORMATION TO DEPARTURE and arrival SOUTH WITH INFORMATION ARRIVAL FLIGHT NUMBER ARRIVAL TIME FLIGHT NUMBER DEPARTURE FLIGHT HOURS PACKAGE PRICE FOR ONE PERSON

Petta PALAKKA ARUNG MALAMPEE GEMME'NA

ARUNG PALAKKA PETTA MALAMPEE GEMME’NA

Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.

Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.

Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :

1.Da Unggu (putri)

2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)

3.Latenri Girang (putra)

4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)

5.Da Emba (putri), dan

6.Da Umpi Mappolobombang (putri)

Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :

1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan

2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16

Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng.

Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua

Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :

1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng;

2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);

3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;

4. Da Ompo

Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone.

Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.

Situasi Tahun 1646

Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut. Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-bangsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya.

Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada tandingannya di masa itu.

Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.

Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mario alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.

Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.

Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.

Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.

Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.

Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.

Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.

Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.

Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.

Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).

Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka.

Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu.

Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.

Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.

Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.

Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)

Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.

Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.

Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung. Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.

Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.

Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah. Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu.

Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.

Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut.

Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri.

DISTRICT HISTORY OF BONE

Bone formerly called GROUND BONE. Based LONTARAK that the original name of Bone
is SAND, in a language called Bone is KESSI Buginese (sand). From this origin
proposal that called BONE. The sand dunes are referred to Bone area
The building is actually the location of the Grand Mosque is located right in the Heart of the City
Capital Watampone Bone precisely in the Village District Bukaka.
Regency Bone is a large kingdom in South Sulawesi, ie since
existence ManurungngE Matajang Ri in the early XIV century or in 1330.
Ri ManurungngE Matajang EYE SILOMPO'E title as King of the First Bone
reigned in the Year 1330 to 1365. Furthermore, their derivative replaced by fall
generations until the end To H. ANDI MAPPANYUKKI as the King of Bone to - 32 and to
- 34 Among the - 34 People. The king who has reigned as King of Bone with a degree
MANGKAU, there are 7 (seven) of Women.
Governance Structure of the Kingdom of Bone formerly consisted of:
• ARUNG Pone (King Bone) holds MANGKAU
• SOIL MAKKEDANGNGE (Served in a field of relations / affairs with
Other kingdoms (Minister of Foreign Affairs)
• TOMARILALENG (In charge of coordinating local affairs in another kingdom
(Meteri in the Country)
• ADE Pitu (Hadat Seven)
Consisting of seven people, is the Vice President / Chief
Governance in the Kingdom of Bone, respectively:
1. ARUNG END
In charge of Information Affairs of the Kingdom of Bone.
2. ARUNG PONCENG
Assigned to head the Police Affairs / Attorney General and the government of.
3. ARUNG T A '
Affairs in charge of Education, and chaired the case Affairs
Civil.
4. ARUNG TIBOJONG
Affairs in charge matters / Court landschap / badat large
and supervise the affairs of the District Court case / badat small.
5. ARUNG Tanete RIATTANG
Cash held in charge of the Kingdom, set the tax
and Financial Supervision.
6. ARUNG Tanete RIAWANG
Work in charge of Home Affairs (landschap Werken-LW) Tax
Roads and Supervisory Opzichter.
7. ARUNG MACEGE
In charge of Public Government Affairs and Economic Affairs.
• Ponggawa (Battle Commander) In charge of the field of Defence
Kingdom of Bone with supervising 3 (three) each device:
1. ANREGURU ANAKARUNG
In charge of coordinating the child Nobility are 40 (Forty)
people served as the elite troops of the Kingdom.
2. PANGULU JOA
In charge of coordinating the forces of the people called Tana Bone
Passiuno means: troops ready for combat in World War I at any time; willing
soul sacrifice his body for the sake of the Kingdom of Bone disorder
Another kingdom.
3. DULUNG (Regional Commander)
In charge of coordinating the Kingdom of subordinates, in the Kingdom of Bone
there are 2 (two) Dulung (Regional Commander) of the Dulungna Ajangale
Bone area of ​​North and Dulungna Awang Tangka of Southern Bone.
• JENNANG (Supervisory)
Berfungi supervise the officers who handle both field supervision
within the palace, as well as with regional / royal subordinates.
• KADHI (Ulama), the device consists of the Imam, Khatib, Bilal
And others, served as the lords of Personality in Islamic Religious Affairs,
The existence of Kadhi (Ulama) in the Kingdom of Bone is constantly working together for the sake of
well-being of the people, even the King of Bone (Mangkau) requested a ruling from the
Kadhi especially regarding Islamic law.
• Bissu (Transvestite) In charge of caring for objects - objects Kingdom
Besides conducting traditional medicine, also served in
belief in Gods SeuuwaE. After the entry of Islam in
Kingdom of Bone, Bissu position on non-switch.
When scrolling continues then in 1905 the Kingdom of Bone in controlled by the invaders
Netherlands. Then with the approval of the Board of Ade PituE Ri Bone LALENG name BRICK
as the capital city was renamed the Kingdom of Bone Watampone until now.
On December 2, 1905 by the Dutch government in Jakarta stipulates that
As for understanding TELLUMPOCCOE (Tri Alliance) in South Sulawesi are: Bone, Wajo
and Soppeng. United in one system of government called Afdeling.
Where Afdeling Bone is divided into 3 (three) parts, with each name Onder Afdeling
:
1. Onder Afdeling North Bone Mother Adorned Pompanua, Capital City
Afdeling was occupied by the Assistant Resident.
2. Onder Afdeling Central Bone Mother Adorned Watampone in
Command by the controller.
3. Onder Afdeling Southern Bone Its capital was ruled by Mare
Aspirants controler.
In 1944 when Japanese troops increasingly pressured by the Allies, Japan
trying to persuade people to defend the Land of water. If in Java and
Other regions are formed by a container to collect the people to achieve
Independence, then in Tana Bone formed an organization known as
YOU PEOPLE'S BLOOD SOURCE stands.
YOU are established is a preparation for the Board approval
real fight to prevent the return of Dutch colonialism in Indonesia.
Regency Bone after release from the Government of the Kingdom, until now
recorded 13 (thirteen) Regional Head was given the confidence to expand the mandate
government in each district Bone:
1. Andi Prince Petta Rani
Afdeling Head / Head of the Region of 1951 to March 19
1955.
2. Ma'mun Daeng Mattiro
Regional Head dated March 19, 1955 until December 21, 1957.
3. H. Andi Mappanyukki
Regional Head / King Bone dated December 21, 1957 to 21 1960.
4. Kol. H. Andi Suradi
Regional Head 21 M ei l960 until August 1, 1966.
5. Andi Baso Amir
Regional Kapala Date March 2, 1967 to August 18 1970.
6. Kol. H. Suaib
Regent Regional Head 18 - 08 - 1970 to July 13, 1977.
7. Kol.H.P.B.Harahap
Regional Head Regents dated July 13, 1977 until 22 February 1982.
8. Kol.H.A.Made Alie
PGS Regent Regional Head on 22 February 1982 to 6 April 1982 until
by March 28, 1983.
9. Syamsul Kol.H.Andi Nature
Regent Regional Head March 28, 1983 until April 6, 1988.
10. Sjamsul Kol.H.Andi Nature
Regional Head Regents dated April 6, 1988 to April 17, l993.
11. Kol. Andi Amir H.
Regional Head Regents dated 17 April 1993 Until 2003
12. H. A. Muh. Idris Galigo, SH
Regent Regional Head in 2003 Until Now
OVERVIEW OF DISTRICT LEVEL II BONE
A. HISTORIC DISTRICT OF THE BONE
Kingdom of Tana Bone formed in the early first century IV or in
1330, but before the Kingdom of Bone formed existing groups and
held leadership KALULA
With the advent to Manurung (Manurungge Ri Matajang) was given the title EYES
SILOMPO-E. then there was a merger of the groups including
China, Barebbo, Awangpone and Palakka. At the time of appointment to Manurung EYE
SILOMPO Bone-E became king, there was a government contract in the form of oath of allegiance
between the people of Bone in this case represented by the Chinese authorities with 10 Manurung,
as a sign and symbol of loyalty to the king as well as a
reflection mode of governance at the beginning of the founding of the kingdom of Bone. Besides
surrender to the King also imprinted hope the people in order that
become liabilities King to create the security, prosperity, and
ensuring the rule of law and justice for the people.
The Oath of the spoken text by the Chinese authorities represent the people of Bone
reads as follows;
"ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI'RI RIYAKKENG
ELO ELOMU KUTAPPALIRENG RIKKENG ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO
KILAO .. MALIKO KISAWE. KI MILLAUKO ABBERE.
MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG
TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING "
Free translation;
"YOU ARE THE WIND AND THE LEAVES OUR WOOD, WHERE blows over there
BY OUR WILLINGNESS AND
Your words ARE SO AND THE APPLICABLE TO OUR, IF YOU
Invited us WELCOMES
AND IF YOU REQUEST THAT WE PROVIDE, EVEN CHILDREN
WIFE IF WE DO NOT enjoy kamipun NOT TUANKU
Enjoy it, BUT YOU ARE TO KEEP OUR peaceful,
YOU JUST APPLY TO PROTECT OUR PROSPEROUS
AND PROSPER YOU TO OUR SELIMUTI not cold '
Bone culture so High on the system of norms or customs
based on the five basic elements of each: Ade, Talk, rapang, Wari and Sara
are intertwined with one another, as an organic unity in the public mind
which gives a sense of self-esteem and personal dignity of each. All
was contained in a concept called "Siri" is integral to
Five key elements mentioned above namely pangadereng (customary norms), for
then the people realize the value pangadereng Bone has once practice
spirit / culture;
SIPAKATAU
meaning: Mutual humanize, honor / respect the dignity
one's humanity as GOD created being without distinction - distinguishing,
whoever the person should be obedient and faithful to the norms of customary law
SIPAKALEBBI
meaning: Mutual glorify the position and function within the structure of each
civic and government, always a good act in accordance with customary
and the prevailing culture in society
SIPAKAINGE
meaning: Mutual remind each other, appreciate the advice, opinions of others,
manerima suggestions and positive criticism and anyone on the basis of the awareness that as
ordinary people did not escape from our mistakes
By adhering to and grounded in cultural values ​​above, the system
Bone Kingdom government is based on consensus agreement. This is evidenced
which at that time Chairman of The seventh position (Matoa Anand) in one chamber
where MenurungE as its Chairman
The seventh was tied in a single bond fellowship called KAWERANG,
Institute Fellowship means Tana Bone. This system lasted since ManurungE Kawerang
as the first King to King Bone Bone to IX are LAPPATAWE MATINROE RI
BETTUNG at the end of the century XVI
In 1605, Islam entered the kingdom of Bone in the government era King
Bone to X LATENRI TUPPU MATINROE Sidenreng RI. At that time also sebuatan Matoa
Pitu Pitu converted into Ade (Hadat Seven), as well as matoa EXPERIENCE Pula
CHANGES TO BE Whitewater example Matua Edge Edge and so-called Whitewater
So long journey Kingdom Bone, then in May 1950 to
first time in the Kingdom of Bone is formed and stood at the beginning of century XIV or
1330 until entering a period of independence there was a demonstration of the people in the city
Watampone that is demanding the dissolution of the State of East Indonesia, and the abolition of
Kingdom government and the states stand behind the government of the Republic of Indonesia
A few days later the members of Seven Hadat apply
stopped. Also followed several years later changed the name of district / Onder
District as the district becomes effective today.
On 6 April 1330 through the formulation of the results of a seminar held in
1989 in Watampone with strengthened regional regulation Regency Bone No.1
1990 Series C, then ditetapkanlah dated 6 April 1330 as DAY TO BE DISTRICT
BONE and commemorated every year.
B. LAY GEOGRAPHY AND POTENTIAL AREAS
Bone District is one of the District contained in
South Sulawesi Province, located geographically very strategic because it is the door
gate of the east coast of South Sulawesi, which is the West coast of the Gulf of Bone has
a long coastline stretching from north to south through the Gulf of Bone
exactly 174 Kilometers east of Makassar, Bone County area of ​​4.556
Square KM or about 7.3 percent of the area of ​​South Sulawesi Province, supported 27
Subdistricts, 335 villages and 39 village, with a population of 648.361 Jiwa
Bone regency bordering areas as follows;
- Northside Wajo
- Southern District Sinjai
- West of Soppeng District, Maros, and Barru Pangkep
- Eastside is associated Bone Bay Province SulawesiTenggara
For details 27th District in Bone added, as follows;
1. Sub Tanete Riattang
2. Sub Tanete West Riattang
3. Sub Tanete East Riattang
4. Sub Palakka
5. Sub Awangpone
6. Sub SibuluE
7. Sub Barebbo
8. Sub Ponre
9. Sub C I n a
10. Sub M a r e
11. Sub Tonra
12. Sub Salomekko
13. Sub Patimpeng
14. Sub Kajuara
15. Sub K a h u
16. Sub Bontocani
17. Sub Libureng
18. Sub Lappariaja
19. Bengo Districts
20. Sub Lamuru
21. Sub Tellu LimpoE
22. Sub Ulaweng
23. Sub Amali
24. Sub Ajangale
25. Subdistrict Two BoccoE
26. Sub Tellu SiattingE
27. Sub Cenrana
C. TOPOGRAPHY AND LAND USE
If we observe Bone District includes the area that is three dimensional; Beach,
Mainland and mountains, vast paddy fields as agricultural land is 455,600 ha, so that
Bone District designated as a buffer zone of rice for the Province of Sulawesi
South commonly known by the term stands for Bosowa SIPILU Bone, Soppeng,
Wajo, Sidrap, Pinrang and Luwu, as well as the beach area is very long longitudinal
from North to South along the Gulf of Bone of the 27 Districts in
Regency Bone, 9 of which were signed in coastal regions such as Sub Cenrana,
Tellu SiantingE, Awangpone, Tanette East Riattang, SibuluE, Mare, Tonra, Salomekko and
Kajuara, thus the source of livelihood in part of Bone County residents
big is the Farmers and Fishermen.
Land use;
- Rice: 455 600 ha
- Garden / moor: 55,052 Ha
- Forest: 162,995 hectares
- Pond: 1450 Ha
D. GOVERNMENT ADMINISTRATION BONE era of decentralization
Regional autonomy as outlined by the Act - Act No. 22 Year
1999 which effectively force on 1 January 2001, it will seize
various ideas for the government at the district
Since its implementation requires the digmatik especially transportation
in governance at regional, district government of this thinking
Bone attempt to formulate strategic measures and policies to
answering urgent demands such as increasing resources
Regional Development and the Empowerment Potential of Bone is one of the areas
Eastern coastal area in South Sulawesi has an important role in
trade
Goods and services eastern region of Indonesia, let alone district with a population of
Life has 648,361 Natural Resource mining sector such as industrial materials
or buildings, gold, copper, silver, coal and quartz sand.
Can all be explored and exploitation, but this will be an opportunity
gold for the community of Bone in an increase in the future Welfare
in the implementation of Regional Autonomy at least this will be the primary support
increase in development ... .. Insha Allah
Makassar, 22 April 2006
In the Publish By:
Andi Pamelleri (Cultural Bone)
- A. Muh Arfan Idris Galigo, SH, M. Kn
- Yuhardin
- A. Kundarwanto